Senin, 14 November 2016

I GUSTI AYU SINGHARSA bersama Sang Putra I GUSTI ABIAN NENGAH a.k.a I GUSTI DAUH PURNAMANING KAPAT

















Bertepatan dengan Hari Purnamaning Kapat, blog ini saya tulis sebagai peringatan dinobatkannya Abhiseka Ida Bhatara Leluhur Agung I Gusti Abian Nengah (cicit dari Ida Bhatara Leluhur Shri Bhagawan Patih Panulisan I Gusti Dauh Bale Agung) pada tahun 1600 di Garba Kuncara Giri / Desa Sibetan - Karangasem , yang merupakan Leluhur Agung dari I Gusti Ayu Nyoman Sulastrini. Ditelusuri Ida Bhatara Shri Bhagawan Patih Panulisan I Gusti Dauh Bale Agung sendiri adalah udhek-udhek (keturunan keenam) dari Shri Maharaja Rakai Halu Shri Dharmawangsa Airlangga Anantawikramottunggadewa yang dikenal secara nasional sebagai Raja Airlangga putra dari Maharaja Udayana. Maharaja Airlangga adalah seorang pendiri Kerajaan Kahuripan yang lahir pada tahun 990 dan memerintah Kerajaan Kahuripan dari tahun 1009 - 1049.



Sang Ratu Maruhani Shri Dharmodayana Warmadewa (Raja Udayana)




Shri Maharaja Rakai Halu Shri Dharmawangsa Airlangga Anantawikramottunggadewa ➡ Rsi Aji Paduka Mpungku Sang Pinaka Catraning Bhuwana (pandita)

Shri Wilatikta Brahmaraja I (Raja Jayasabha)

Sira Aryeng Kediri 

Sira Aryeng Kepakisan 

I Gusti Nyuh Aya

I Gusti Akah

Mahapatih Panulisan I Gusti Dauh Bale Agung ➡ Shri Bhagawan I Gusti Dauh Bale Agung (pandita)



Tersebutlah kerajaan pertama dan terbesar Bali yaitu Kerajaan Gelgel yang dipimpin oleh Raja Dalem Waturenggong mengalami masa keemasanya memimpin Bali dan tanah-tanah jajahan-Nya yang meliputi wilayah Pasuruan, Belambangan, seluruh Jawa Timur, Lombok, Sumbawa, Gurun, hingga Gowa (1460-1550), dimana kepemimpinn-Nya tersebut disertai beberapa Para Patih-Nya, dan salah satu Patih andalan Sang Raja yang bernama Shri Bhagawan Patih Panulisan I Gusti Dauh Bale Agung adalah Leluhur Agung I Gusti Ayu Nyoman Sulastrini. Dimana Shri Bhagawan Patih Panulisan I Gusti Dauh Bale Agung adalah seorang Patih yang memiliki kecakapan menguasai bidang arsitektur, kesusastraan, dan keagamaan, yang mana kecakapan di bidang kesusastraan dan keagamaan didapat Sang Patih saat menjadi murid dari Sang Maha Guru Mpu Nirartha / Ida Pedanda Wawu Rauh, yang mana ketiga bakat tersebut setelah 500 tahun / setengah abad kemudian diturunkan kembali kepada salah satu ‘bintang warih’ diantara ribuan warih Arya Dauh / warih Sang Bhagawan Patih, yaitu kepada I Gusti Ayu Nyoman Sulastrini…….. @-}--

Hmmmmmm……
Hmmmmmm……
Hmmmmmm……

            Setelah kepemimpinan Raja Dalem Waturenggong digantikan oleh Sang Putra Mahkota yang bernama Dalem Bekung, Kerajaan Gelgel menjadi lemah, hal itu dikarenakan pada jaman kepemerintahan Raja Dalem Bekung, pola pikir raja muda ini telah mengalami perubahan. Raja Dalem Bekung tidak mau lagi menerima usul, saran-saran, dan nasihat dari keempat paman-Nya, dimana Raja Dalem Bekung yang mengambil sikap tak acuh, tidak lagi mengikuti jejak almarhum ayahanda nan sakti Raja Waturenggong.
            Akhirnya terjadilah kekacauan, kerusuhan dan kejahatan karena Sang Raja dianggap tidak berwibawa lagi. Puncaknya adalah saat salah satu  istri Sang Baginda Raja yang berparas cantik jelita, mengerti isyarat, dan juga manis tutur katanya yang bernama I Gusti Ayu Samantiga itu, telah melakukan pengkhianatan yaitu berselingkuh dengan salah satu Patih-Nya sendiri yang bernama I Gusti Ngurah Telabah. Karena Sang Baginda Raja telah melihat cincin bermata mulia pemberian sebagai tanda cinta-Nya kepada Sang Istri tapi kemudian telah dikenakan pula oleh Patih-Nya itu, sehingga memicu kecemburuan dan kemarahan Sang Baginda Raja.
            Akhirnya Baginda Raja Dalem Bekung mengutus Patih lainnya untuk menghukum perilaku dratikrama Patih I Gusti Ngurah Telabah yang telah serong kepada istri-Nya, utusan tersebut yang tak lain tak bukan adalah putra dari Shri Bhagawan Patih Panulisan I Gusti Dauh Bale Agung (Patih Ayahanda Raja Dalem Waturenggong) yang bernama Rakryan Patih I Gusti Dauh Pande Basa. Dimana jabatan seorang Rakryan Patih adalah Pejabat Negara yang tertinggi diantara 4 Pejabat Pelaksana Pemerintah. Rakryan Patih menduduki tempat sebagai Perdana Menteri / Menteri Utama / Maha Menteri, yang bersama-sama Raja dapat menjalankan kebijaksanaan Pemerintahan.  Jabatan Rakryan Patih tersebut membawahi : Rakrayan Demung (Kepala Rumah Tangga Kerajaan), Rakryan Kanuruhan (Pemimpin Tugas-tugas Upacara), Rakryan Tumenggung (Panglima Kerajaan), dan Rakryan Rangga (pembantu Panglima).
          Hukuman yang di kehendaki oleh Raja Dalem Bekung, Patih  I Gusti Ngurah Telabah harus dihukum mati! Tetapi pelaksanaannya harus rahasia. Tugas melaksanakan hukuman mati yang rahasia itu harus diselesaikan oleh Rakryan Patih I Gusti Dauh Pande Basa. Kerahasiaan yang sangat ketat itu perlu dijaga, karena Sang Raja yang tak berwibawa ini, pada dasarnya sangat takut kepada Patih I Gusti Ngurah Talabah, hal itu dikarenakan Patih I Gusti Ngurah Telabah memiliki keluarga yang sangat besar dan berpengaruh, di samping itu juga memiliki pengikut yang kuat.

Sebagaimana halnya bagi Rakryan Patih I Gusti Dauh Pande Basa, tugas ini adalah tugas dari Sang Baginda Raja, tidak ada jalan untuk menolaknya. Perintah Raja, adalah Tugas negara. Namun bagi Rakryan Patih I Gusti Dauh Pande Basa, guna melaksanakan tugas yang sangat pelik dan berbahaya tersebut, agar sama-sama yakin akan menjaga kerahasiaan tugas, Rakryan Patih I Gusti Dauh Pande Basa, mengajukan syarat untuk mengadakan supata matetuwek, semacam ikrar / sumpah / Haricandana untuk tidak saling membocorkan rahasia tersebut, yang pelaksanaan ikrar / sumpah / Haricandana bertempat di Taman Warapsari. Ikrar / sumpah / Haricandana Raja Dalem Bekung kepada Rakryan Patih I Gusti Dauh Pande Basa, pada waktu itu berbunyi :


Berkata Raja Dalem Bekung :
“......Yang Mulia Dewa di Gunung Agung, bila Patih I Gusti Ngurah Telabah mati oleh Rakryan Patih I Gusti Dauh Pande Basa, bila saya mengingkari janji membocorkan rahasia, agar Bhatara di Gunung Agung, melipatgandakan kesalahan saya, agar menerima segala neraka dunia....”
Dijawab oleh Rakryan Patih I Gusti Dauh Pande Basa :
“.......Yang Mulia Dewa di Gunung Agung, andai kata tidak terbunuh Patih I Gusti Ngurah Telabah, berkat usaha saya, agar segala derita rakyat Balidwipa, semuanya saya yang menanggungnya, bersama-sama.......”


Apa yang telah diikrarkan oleh Rakryan Patih I Gusti Dauh Pande Basa, ternyata dapat terwujud dan tercapai. Patih I Gusti Ngurah Telabah terbunuh, oleh siasat Rakryan Patih I Gusti Dauh Pande Basa, yang rapi dan sangat rahasia. Sehinggan kematian Patih I Gusti Ngurah Telabah akibat pembunuhan menjadi menjadi samar dan kabur. Tidak di ketahui pembunuhnya serta latar belakang terjadinya pembunuhan tersebut, hal itu dikarenakan adalah berkat kelihaian serta wiweka Rakryan Patih I Gusti Dauh Pande Basa.
Diceritakan guna melaksanakan madurgama itu, Rakryan Patih I Gusti Dauh Pande Basa, lalu memerintahkan seorang kepercayaannya, yang bernama Ki Capung, dalam rangka upaya dan usahanya menempuh pelaksanaan pembunuhan Patih I Gusti Ngurah Telabah. Untuk melaksanakan tugas yang rumit dan berat itu, Rakryan Patih Pande I Gusti Basa kemudian memberikan Ki Capung sebilah keris, yang bernama Ki Palangsoka.    
              Setelah diberi tugas oleh Rakryan Patih I Gusti Dauh Pande Basa, yang diiringi dengan pesan agar Ki Capung sangat hati-hati dan merahasiakan sekali tugas pembunuhan ini, kemudian Ki Capung segera mencari orang ke Kuta. Ki Capung mengetahui bahwa orang yang berasal dari Kuta ini sangat dendam kepada Patih I Gusti Ngurah Telabah.
Setibanya di Kuta dan bertemu dengan orang yang dicarinya, Ki Capung segera memberikan petunjuk kepada Orang Kuta ini, agar membunuh Patih I Gusti Ngurah Telabah yang pernah menyiksanya habis-habisan dimasa yang silam.
Setelah memberi petunjuk singkat, Ki Capung lalu mengalihkan pemberian Keris Ki Palangsoka, sebagai senjata untuk menyelesaikan tugas berat dan rahasia itu. Orang Kuta ini pun menyanggupi untuk melaksanakan tugas berat dan rahasia itu. Dia menjadi ingat betapa kejamnya Patih I Gusti Ngurah Telabah waktu menyiksa dirinya dahulu. Sekaranglah ada kesempatan untuk membalaskan dendamnya.   
              Dengan tiada membuang-buang waktu lagi, Orang Kuta itu langsung menuju ke Puri Patih I Gusti Ngurah Telabah. Kebetulan I Gusti Ngurah Talabah pada waktu itu sedang berada di Purinya. Tanpa permisi, orang dari Kuta itu langsung menikamkan Keris Ki Palangsoka ke dada Patih I Gusti Ngurah Telabah. Setelah sempat memperhatikan siapa gerangan yang telah menikamnya itu, betapa amarah Patih  I Gusti Ngurah Telabah, karena Sang Patih kini teringat, orang yang menikamnya itu adalah Orang Kuta yang pernah disiksanya dahulu. Dengan dibakar oleh nafsu amarah dan dendam yang tak tertahankan, sebelum menghembuskan nafas penghabisan, Patih I Gusti Ngurah Telabah sempat menikam balik Orang Kuta tersebut dengan Keris Tinjak Lesung, sehingga Orang Kuta juga sama-sama menemui ajalnya saat itu juga.
Setelah Patih I Gusti Ngurah Telabah terbunuh, Ki Capung segera melaporkan kepada Rakryan Patih I Gusti Dauh Pande Basa, bahwa tugasnya telah dapat ditunaikan dan diselesaikan dengan baik. Selanjutnya setelah menerima laporan dari Ki Capung, Rakryan Patih I Gusti Dauh Pande Basa segera menghadap ke Puri Swecapura, dan melaporkan tugas untuk membunuh Patih I Gusti Ngurah Telabah telah berhasil dengan gemilang. Tetapi Ki Capung yang merasa bangga karena keberhasilannya untuk membunuh Patih I Gusti Ngurah Talabah, menjadi terlalu sombong dan sesumbar. Setiap bertemu siapa saja Ki Capung selalu menceritakan keberhasilannya membunuh Patih I Gusti NgurahTelabah itu. Ulah Ki Capung yang sesumbar itu dianggap sangat berbahaya oleh Rakryan Patih I Gusti Dauh Pande Basa, dan agar jangan sampai terbongkar lebih jauh lagi, berencanalah Rakryan Patih I Gusti Dauh Pande Basa membunuh Ki Capung. Tetapi itu pun juga semata-mata untuk menjaga rahasia Raja Dalem Bekung.
              Dasarnya memang Rakryan Patih I Gusti Dauh Pande Basa memiliki bakat sebagai ahli siasat kerajaan dan wiweka, pada suatu malam Ki Capung diajaknya bepergian oleh Sang Patih. Tiba-tiba di tengah jalan Rakryan Patih I Gusti Dauh Pande Basa mengatakan kepada Ki Capung bahwa ada barang yang tertinggal di Purinya.  Akhirnya Ki Capung pun diperintahkan untuk mengambil barang yang tertinggal di Purinya tersebut. Setelah sesampainya Ki capung di dalam Puri, ternyata pintu masuk Puri sudah terkunci. Melihat pintu telah terkunci, Ki Capung lalu memanjat tembok Puri. Pada saat Ki Capung berada di atas tembok, dia ditegur keras oleh para pengawal Puri Rakryan Patih I Gusti Dauh Pande Basa sendiri. Dan belum sempat Ki Capung menjawabnya, tiba-tiba Ki Capung terjatuh ke dalam halaman Puri. Tanpa ampun para Pengawal Puri Rakryan Patih I Gusti Dauh Pande Basa menombak Ki Capung, sampai tembus dadanya, dan mati seketika itu juga.
              Mendengar berita bahwa Ki Capung mati terbunuh di dalam Puri Rakryan Patih I Gusti Dauh Pande Basa, istri Ki Capung menjadi sangat sedih. Akibat muncung mulut istri Ki Capung tersebut yang dikarenakan kesedihannya menyesali terbunuhnya suaminya Ki Capung, kemudian istri Ki Capung ini mulai membuka tabir rahasia kematian Patih I Gusti Ngurah Telabah, yang terus berkembang menjadi pembicaraan diberbagai tempat. Sehingga pada akhirnya peristiwa pembunuhan Patih I Gusti Ngurah Telabah  sampai juga ke telinga I Gusti Kanca, yaitu putra Patih I Gusti Ngurah Telabah.
I Gusti Kanca segera manghadap Raja Dalem Bekung ke Puri Swecapura, untuk memohon keterangan yang jelas tentang kematian ayahnya itu, yang juga membawa-bawa nama Rakryan Patih I Gusti Dauh Pande Basa. Sesuai dengan berita yang terbetik di masyarakat, I Gusti Kanca datang memohon kepada Raja Dalem Bekung agar Rakryan Patih I Gusti Dauh Pande Basa diambil sumpah / Haricandane; sekiranya jika Rakryan Patih I Gusti Dauh Pande Basa membantah melakukan pembunuhan ayahnya.
Raja Dalem Bekung pun memenuhi permohonan I Gusti Kanca. Kenyataan ini berarti bahwa Raja Dalem Bekung yang lemah dan tidak berwibawa ini tidak setia kepada janji yang telah diikrarkan bersama-sama Rakryan Patih I Gusti Dauh Pande Basa di Taman Warapsari beberapa waktu lalu tersebut.
               Tetapi setelah Rakryan Patih I Gusti Dauh Pande Basa diberi tahu akan diambil sumpah oleh Raja Dalem Bekung, Rakryan Patih I Gusti Dauh Pande Basa menolak untuk diambil sumpah dalam peristiwa kematian Patih I Gusti Ngurah Telabah. Namun karena prinsip dalam usaha menegakan dharmeng ksatrya untuk melaksanakan Tugas Negara, resiko apapun yang akan terjadi harus ditanggung. Yang mana memang sudah merupakan ketetapan hati dan panggilan jiwa ksatria dari Rakryan Patih I Gusti Dauh Pande Basa.
Sebelum akan turun ke medan dananlaga untuk menunaikan dharmeng ksatrya, Rakryan Patih I Gusti Dauh Pande Basa memohon pamit kepada Ayahandanya Shri Bhagawan Patih Panulisan I Gusti Dauh Bale Agung. Saat pamit pada ayahandanya tersebut, Rakryan Patih I Gusti Dauh Pande Basa mengemukakan secara rinci proses tugas yang berat dan sangat rahasia itu, hingga terjadi periswtiwa terbunuhnya Patih I Gusti Ngurah Telabah. Demikian pula mengenai prilaku tidak ksatria Raja Dalem Bekung yang ingkar janji.
Wejangan Shri Bhagawan Patih Panulisan I Gusti Dauh Bale Agung dalam menanggapi keterangan putranya adalah; lebih baik menunaikan dharmeng ksatrya di ujung keris dan di medan dananlaga, dari pada melakukan sumpah / Haricandana. Kalau yang gugur dalam medan pertempuran, saat menunaikan dharmeng ksatrya, subha-subha karmanya, adalah bagi mereka yang bersangkutan. Sedangkan kalau terkena sumpah / Haricandana adalah yang terkena adalah sumpah tujuh turunan.
Jika disimak dan dikaji, betapa bijak dan mulia wejangan Shri Bhagawan Patih Panulisan I Gusti Dauh Bale Agung , yang telah menjadi panglingsir, dan berkedudukan sebagai rokhaniwan dan rakawi, dimana telah membenarkan sikap dan tindakan ksatria sang putra untuk mengangkat senjata, demi tegaknya dharmeng ksatrya, dalam hidup dan kehidupan……..
(I Gusti Ayu Nyoman Sulastrini merasa sangat bangga menjadi warih / keturunan para Ksatria Utama Perkasa Wibawa ini @-}--)
              Belum usai pembicaraan dalam menghadapi pertempuran, putra, ayah, dan kakyang, Warih Aryeng Kapakisan tersebut (dimana Rakryan Patih I Gusti Dauh Pande Basa juga mengajak putranya yang bernama I Gusti Dauh Wayahan Byasama untuk bertempur), terdengarlah dari tempat pertempuran sorak-sorai musuh yang menggempur. Taman Warapsari telah di kepung oleh pasukan musuh, gabungan pasukan I Gusti Ngurah Kanca, dengan pasukan di bawah pimpinan Kryan Abian Tubuh. Sedang pasukan gabungan Rakryan Patih I Gusti Patih Pande Basa, dipimpin oleh Kryan Manginte dan Kryan Pandarungan. Karena kekuatan tak seimbang, lagi pula pasukan gabungan Rakryan Patih I Gusti Dauh Pande Basa yang berada di sebelah timur tukad Unda, ternyata malah tidak dapat membantunya karena dihalangi oleh banjir bandang. Dalam pertempuran seperti sagara capuh itu, akhirnya seluruh keluarga Rakryan Patih I Gusti Dauh Pande Basa gugur sebagai ratna mutu manikam dalam perang puputan yang habis-habisan tersebut.
Walaupun seluruh keluarganya telah caput habis-habisan, demi tegaknya ajaran nsusatyeng ratu mwang susatyeng nagara, Shri Bhagawan Patih Panulisan I Gusti Dauh Bale Agung, yang mabhawanta kepada Mpu Nirartha, tetap juga menghadap Raja Dalem Bekung ke Puri setiap hari untuk memperingati gugurnyapara putra dan cucu-cucunya saat menunaikan dharmeng ksatrya, dalam medan dananlaga. Dan di hari tuanya tersebut Shri Bhagawan Patih Panulisan I Gusti Dauh Bale Agung, sempat juga menulis karya sastra yang berjudul Arjuna Pralabda.
               Selain dari Shri Bhagawan Patih Panulisan I Gusti Dauh Bale Agung, yang masih hidup lagi adalah I Gusti Ayu Singharsa, istri dari I Gusti Dauh Wayahan Byasama, yang sedang dalam keadaan hamil tua saat suami, mertuanya, dan seluruh keluarga besarnya tersebut berperang puputan / habis-habisan melawan pasukan gabungan I Gusti Kanca dan Pasukan Kerajaan Gelgel, sehingga I Gusti Ayu Singharsa pergi melarikan diri sendirian dengan berjalan kaki dari Kerajaan Gelgel-Klungkung sejauh puluhan kilometer bersembunyi menuju ke dalam hutan lebat di Karangasem, demi menyelamatkan satu-satunya warih dari Shri Bhagawan Patih Panulisan I Gusti Dauh Bale Agung yang masih berada di dalam kandungannya.
I Gusti Ayu Singharsa adalah Putri I Gusti Ngurah Sidemen. Berkat perlindungan ayahandanya I Gusti Ngurah Sidemen, I Gusti Ayu Singharsa yang sedang hamil tua itu dapat terpelihara nyawanya, sehingga Warih Arya Kapakisan Dauh Bale Agung, tidak camput, hingga berkembang pada era masa sekarang ini (salah satunya ‘bintang warih’ I Gusti Ayu Nyoman Sulastrini).
Setelah I Gusti Ayu Singharsa dapat diselamatkan oleh ayahandanya dari kejaran pasukan gabungan I Gusti Kanca dan Pasukan Kerajaan Gelgel yang terus-menerus menyelidiki dimanakah tempat persembunyian I Gusti Ayu Singharsa. Untuk menghindari pasukan gabungan itu , I Gusti Ngurah Sidemen, lalu menyembunyikan putrinya, di pegunungan di Desa Sibetan yang disebut Garba Kuncara Giri, yang menjadi lokasi Pura Garba. 


Merajan Kawitan Abian Nengah, Sibetan, Karangasem
 
Pemandian Keramat Telaga Tista, Bebandem, Karangasem

 
            Setelah beberapa bulan berselang, akhirnya tibalah saatnya I Gusti Ayu Singharsa yang telah berada aman di tempat persembunyiannya untuk bersalin. Dari persalinannya tersebut, lahirlah seorang putra yang gagah dan sempurna, yang bernama Abhiseka I Gusti Abian Nengah. Betapa bahagia hati I Gusti Ngurah Sidemen, mendengar berita kelahiran cucunya pada waktu itu. Kebahagiaan sang kakek bertambah lagi, karena dengan kelahiran cucunya itu, Abhiseka I Gusti Abian Nengah akan merupakan satu-satunya cicit yang akan menyambung warih, Shri Bhagawan Patih Panulisan I Gusti Dauh Bale Agung, yang telah musnah dan nyaris camput itu. Shri Bhagawan Patih Panulisan I Gusti Dauh Bale Agung sendiri adalah warih dari Leluhur Agungnya yang bernama Ida Bhatara Leluhur Sira Nararya Kapakisan. Sehingga seluruh warih dari I Gusti Abian Nengah dikenal sebagai Arya Dauh.
Setelah I Gusti Abian Nengah beranjak dewasa, atas bantuan sang kakiang I Gusti Ngurah Sidemen, I Gusti Abian Nengah dinobatkan sebagai penguasa Desa Sibetan. Upacara penobatan itu terjadi di sekitar tahun 1600 Masehi, yang bertepatan di Hari Purnamaning Kapat, sehingga I Gusti Abian Nengah, dikenal dengan nama I Gusti Dauh Purnamaning Kapat.



Bagan Leluhur Kawitan Arya Kepakisan Dauh Bale Agung



Hmmmmmm……

            Karib-karibku di seluruh penjuru dunia, demikianlah sekiranya asal mula Sejarah Ida Bhatara Leluhur Agung dari Arsitek I Gusti Ayu Nyoman Sulastrini…….. @-}--








Architect I Gusti Ayu Nyoman Sulastrini





















@-}-- GBU @-}--










#AYUSULASTRINI6810NERANGJAGAT





Tidak ada komentar:

Posting Komentar