Blog ke-8 dari Blog
Ayu Sulastrini for International Architecture ini saya tulis bertepatan dengan Purnamaning Kanem, yang juga adalah
hari piodalan dari Pura Bebengan, Tanjung - Lombok Utara. Mengapa Pura Bebengan, Tanjung?????? Karena dari Pura Bebengan
inilah awal kisah perjuangan Leluhur
Agung I Gusti Ayu Nyoman Sulastrini yaitu yang bernama I Gusti Ketut Kebon sebagai leluhur pertama yang merantau ke Pulau
Lombok sekaligus yang berhasil menjadi penguasa suatu daerah di Lombok Utara yang
kini telah menjadi sebuah Kabupaten yang bernama Tanjung (asal-usul Puri Karang Jero).
Leluhur Agung I Gusti Ketut Kebon sebagai keturunan dari I Gusti
Abian Nengah atau I Gusti Dauh Purnamaning Kapat (keturunan Arya Dauh), tinggal
di Jero Kelodan, Subagan Dalem -
Karangasem. Dituturkan pada saat itu sekitar tahun 1755, tersebutlah I Gusti
Ketut Kebon adalah sosok dengan kepribadian Dharma
yang sangat patuh terhadap perintah,
sebagaimana juga terhadap perintah kedua kakak-kakaknya yang gemar menyuruhnya
membeli candu, baik di pagi, siang, sore, ataupun malam hari bahkan I Gusti Ketut
Kebon hampir hanyut saat membeli candu ketika datang banjir melanda di Sungai
Jange, sehingga malah semakin dimurkai kedua kakaknya tersebut karena datang
terlambat membawakan candu yang mereka pesan ke Karangasem.
Di suatu saat karena I Gusti Ketut Kebon tak kunjung
habis-habisnya dimurkai kedua kakak-kakaknya karena mendapatkan candu dalam
jumlah sedikit, pada akhirnya I Gusti Ketut Kebon merelakan dirinya mapamit
kepada kedua kakaknya tersebut melanglang ke luar menuju ke beberapa desa-desa
di pelosok Bali hingga melarung laut sampai ke Gumi Sasak / Pulau Lombok, untuk
merantau demi menyambung hidup seorang
diri tanpa pangiring, menuju keluarga di Karang Sidemen - Cakranegara,
yaitu di keluarga I Gusti Gede Umbara (keturunan Arya Dauh). Pengorbanan diri I
Gusti Ketut Kebon yang saat itu berusia 30 tahun pergi merantau menuju ke Gumi
Sasak adalah dengan meninggalkan 2 orang istrinya yang bernama I Gusti Ayu
Nengah Putu dan Jero Banjar, sekaligus meninggalkan juga kelima orang putra dan
putrinya, yaitu yang bernama : I Gusti Ayu Made Kaler, I Gusti Nyoman Taji, I
Gusti Wayan Pande, I Gusti Made Rai, dan I Gusti Gede Jelantik.
Tiba di Gumi Sasak / Pulau Lombok setelah mengarungi Selat Lombok
dengan berperahu sendirian selama +7 hari, berlabuh di Pantai Bangko-bangko - Lombok Barat kemudian
I Gusti Ketut Kebon meneruskan perjalanan dengan berjalan kaki sejauh +69
km menuju ke Karang Sidemen – Cakranegara, sebuah Ibu Kota Pemerintahan yang
baru saja dikuasai Kerajaan Karangasem. Singkat cerita, hanya selama 8 hari
singgah di keluarga I Gusti Gede Umbara, kemudian I Gusti Ketut Kebon mapamit
untuk mewujudkan niatnya memiliki tempat tinggal di sebuah kubon / lahan kosong
yang terletak di Baler Gunung / Utara Gunung, tepatnya di Dusun Tanak Song
(tanah kosong), Desa Jenggala, yang sekarang terkenal dengan nama Kabupaten Tanjung.
Merantau jauh hingga tinggal magubug
/ rumah reyot yang tak layak huni di sebuah lahan kosong terpencil di Gumi
Sasak, dimana semua wilayah Kabupaten Tanjung saat itu masih berupa hutan
belantara, begitulah pengorbanan I Gusti Ketut Kebon meninggalkan rumah asal, anak,
dan istri demi menghindari tuntutan dan perintah kedua kakaknya tersebut
membeli candu. Bahkan diceritakan kondisi penduduk asli di sekitar Dusun Tanak
Song saat itu juga banyak yang masih menderita.
Cukup lama I Gusti Ketut Kebon magubug di Dusun Tanak Song, beliau menyambung hidup dengan
bermatapencaharian sebagai pedagang ikan dan kapur yang kemudian ditukarkan /
sistem barter dengan beras dan bumbu-bumbuan hingga berdagang ke Dasan Luwang
Sawak, Dasan Tungkik, hingga Dasan Carik.
Dituturkan
bertahun-tahun I Gusti Ketut Kebon telah menetap di Dusun Tanak Song, dengan
hasil dari tekad mulia, rasa tanggung jawab, kerja kerasnya, dan juga menabung,
akhirnya I Gusti Ketut Kebon berhasil membeli sebidang tanah di daerah Karang
Desa, dan mendirikan Cecanggahan / Unggah - Anggih / tempat maturan /
sembahyang. Kemudian setelah selesai membeli sebidang tanah dan mendirikan
Cecanggahan, I Gusti Ketut Kebon pulang ke Subagan Dalem – Karangasem untuk
menjemput kedua istri dan kelima anaknya yang masih kecil-kecil.
Tujuan I Gusti Ketut Kebon kembali ke Subagan Dalem – Karangasem
adalah dengan bermaksud ikut membawa
anak dan istrinya dan juga mengambil segenggam Tanah Jumputan dari Merajan Subagan Dalem – Karangasem, demi
persyaratan mendirikan Merajan (meneruskan keturunan Arya Kepakisan Dauh Bale
Agung) di Gumi Sasak / Pulau Lombok.
Dituturkan, selama I
Gusti Ketut Kebon merantau sendirian berjuang di tanah seberang, kedua istri
beliau, yaitu : I Gusti Ayu Nengah Putu dan Jero Banjar, hidup secara sederhana
bersama kelima anak-anaknya di Subagan Dalem – Karangasem.
Sesampainya I Gusti Ketut Kebon dengan
selamat melarung laut menggunakan sebuah perahu selama +7 hari membawa
kedua istri dan kelima anaknya menuju ke Gumi Sasak / Pulau Lombok, I Gusti
Ketut Kebon tetap melanjutkan mata pencahariannya dengan berdagang ikan dan
kapur, ditambah juga berjualan bumbu-bumbuan sambil melebarkan daerah jangkauan
dagangannya hingga ke Dusun Panasan Daye, dengan ditemani kedua istri dan putri
sulungnya yang masih berusia 7 tahun. Semua kerja keras keluarga kecil I Gusti
Ketut Kebon ini, disamping agar mampu mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari, juga
dikarenakan tidak memiliki tanah dan kebun (warisan) di Gumi Sasak / Pulau
Lombok ini.
Kemudian dituturkan bahwa Wilayah
Baler Gunung / Utara Gunung / Tanjung yang masih berada di Wilayah
Kepemerintahan Kerajaan Cakranegara, saat itu memiliki seorang Punggawa
Kerajaan Wilayah Tanjung yang bernama I Gusti Ketut Intaran, situasinya mulai tidak
aman.
Saat masyarakat desa
sedang menunggu panen padi di sawahnya, tiba-tiba kedatangan bajak laut di
Pantai Bebengan dengan tanda menyembunyikan kempul kecil / bende, sebagai tanda
peringatan bahwa bajak laut akan melakukan perampokan pada sawah rakyat. Jelas
masyarakat desa merasa ketakutan dan melapor kepada Punggawa I Gusti Ketut
Intaran. Selanjutnya masyarakat desapun beramai-ramai membawa senjata ala
kadarnya untuk ikut membantu pasukan kerajaan melawan bajak laut. Sehingga
terjadilah pertempuran dengan bajak laut di wilayah Gontor Bebengan.
Saat itu I Gusti Ketut Kebon baru saja memiliki sebidang tanah
sawah yang akan digunakan untuk bertani, sebidang tanah sawah yang terletak di
sebelah Barat Bebengan, yaitu di Jambi Nambar. Sewaktu I Gusti Ketut Kebon juga
sedang mengolah tanah sawahnya itu, beliau akhirnya menyaksikan sengitnya pertempuran
melawan bajak laut tersebut. Kemudian I Gusti Ketut Kebon melihat bahwa pasukan
kerajaan yang dibantu masyarakat desa menjadi sangat terdesak oleh serangan bajak
laut, sehingga Punggawa I Gusti Ketut Intaran lari dan tercebur di Rawa
Bebengan. Sedangkan masyarakat desa ikut melarikan diri terpencar.
Punggawa I Gusti Ketut Intaran yang tercebur di Rawa Bebengan
tidak bisa bangun dan berteriak-teriak minta tolong untuk ditarik keluar dari
rawa lumpur. Sehingga akhirnya I Gusti Ketut Kebon datang dan membantunya
menarik keluar dari dalam lumpur. Melihat situasi yang demikian kacau balau, akhirnya
pimpinan pasukan kerajaan dan masyarakat desa sementara diambil alih oleh I
Gusti Ketut Kebon untuk kembali melawan serangan bajak laut, sehingga
berbaliklah situasi yang membuat pasukan bajak lautlah yang terdesak sampai
naik kembali ke atas perahunya, sekaligus I Gusti Ketut Kebon pun berhasil pula
menyandera salah satu anggota bajak laut yang bernama Wak Pacak, ternyata
disinyalir berasal dari Kampung Bandar, Bugis - Makasar.
Masyarakat desa kala itu sangat keheranan melihat ‘Tingkat
Ksatria’ yang teguh kembulan dari I Gusti Ketut Kebon, karena jika I Gusti
Ketut Kebon mangkat / seda / wafat dalam peperangan habis-habisan melawan
pasukan bajak laut, maka habislah riwayat keturunan Arya Kepakisan Dauh Bale
Agung di Gumi Sasak / Pulau Lombok.
Karena I Gusti Ketut
Kebon telah berhasil membantunya dalam mengusir bajak laut sekaligus membawakan
bukti sandera, Punggawa I Gusti
Ketut Intaran sembari mengucapkan terima kasih beliau juga berpesan; jika saat
dirinya pulang ke Kerajaan Cakranegara, I Gusti Ketut Kebon dipercayakan sebagai
pengganti sementara menjaga keamanan Wilayah Tanjung. Sejak saat itulah I Gusti
Ketut Kebon dan Punggawa I Gusti Ketut Intaran menjalin hubungan persahabatan.
Selanjutnya dituturkan setelah beberapa lama di Cakranegara,
Punggawa I Gusti Ketut Intaran kembali ke Tanjung dengan membawa titah dari
Raja Cakranegara; bahwa seluruh Wilayah Masyarakat Buddha dipegang oleh I Gusti
Ketut Kebon dimana telah dianugerahkan Sang Raja sebuah jabatan sebagai
Anglurah, juga sekaligus memberi penghargaan berupa beberapa bidang sawah di
daerah Jambi Nambar, Bebengan. I Gusti Ketut Kebon mengucapkan terima kasih
kepada Raja Anak Agung Cakranegara atas pelimpahan kepercayaan yang diberikan
kepadanya.
Setelah sekian lama I Gusti Ketut Kebon melaksanakan titah Raja
Anak Agung Cakranegara dengan jabatannya sebagai Anglurah, hingga kemudian
situasi Wilayah Tanjung kembali rawan. Sering terjadi pencurian sapi milik
masyarakat Dasan Kates - Karang Panasan yang dilakukan oleh sebagian masyarakat
Lading-lading. Sapi-sapi curian tersebut langsung disembelih ditempat, kemudian
kepala sapi-sapi tersebut diikat pucuk merah dan digantung di pintu masuk Desa
Lading-lading sebelah barat. Hal itu memicu amarah masyarakat Dasan Kates -
Karang Panasan yang kemudian melaporkannya kepada Anglurah I Gusti Ketut Kebon.
Lalu Anglurah I Gusti
Ketut Kebon berkata: ‘Kalau ada masyarakat Dasan Kates – Karang Panasan punya
nyali, silahkan mencari dan mengambil sapinya yang dicuri ke Desa Lading-lading’.
Tetapi masyarakat Dasan Kates –
Karang Panasan tidak berani dan kemudian mendiamkannya. Hingga kejadian
pencurian sapi-sapi terjadi terus berulang-ulang, hingga 2 sampai 3 kali setiap
bulannya terjadi perampokan. Bahkan setiap melihat orang Lading-lading,
masyarakat Dasan Kates – Karang Panasan merasa takut sekali, hal inilah yang
menyebabkan akhirnya Anglurah I Gusti Ketut Kebon merasa harus segera mengambil
tindakan. Maka pergilah Anglurah I Gusti Ketut Kebon ke Montong Mencongok menjumpai
sebagian masyarakat setempat yang sedaqng membajak sawahnya dengan menggunakan sapi-sapi
hasil curian tersebut. Lantas Anglurah I Gusti Ketut Kebon memotong tali pengikat leher sapi-sapi curian tersebut dan menyerahkannya kepada masyarakat
Dasan Kates – Karang Panasan, agar nantinya masyarakat Dasan Kates – Karang Panasan
bisa membawa pulang kembali sapi-sapi miliknya yang dicuri. Sedangkan demi melihat
keberanian dari Anglurah I Gusti Ketut Kebon, masyarakat Lading-lading yang
mencuri sapi-sapi masyarakat Dasan Kates – Karang Panasan, menjadi takut kepada
sosok Anglurah I Gusti Ketut Kebon.
Tak berselang lama, sekitar 3 bulan –
5 bulan kemudian, masyarakat Lading-lading melaporkan balik / membuat sebuah
fitnah kepada Raja Anak Agung Cakranegara, yang intinya bahwa; ‘Anglurah I
Gusti Ketut Kebon telah merampas sapi-sapi milik masyarakat Lading-lading’,
yang tentunya menyebabkan Raja Anak Agung Cakranegara menjadi murka, sehingga
menitahkan Anglurah I Gusti Ketut Kebon dibuang ke Belongas – Lombok Selatan.
Singkat cerita, setelah menitipkan pengawasan
kelima anaknya kepada kedua istrinya, dimana dimasa pembuangannya di Belongas –
Lombok Selatan, hidup I Gusti Ketut Kebon sangat menderita. Untuk dapat
bertahan hidup saja hanya bergantung sebagai Penunggu Taman.
Namun kemudian setelah
sekitar sebulan hidup di pembuangannya di Belongas – Lombok Selatan, tiba-tiba
turunlah hujan angin saat tengah malam, dan I Gusti Ketut Kebon melihat sosok seorang
perempuan yang tidak lain adalah Ida
Bhatari Gunung Pangsung.
Yang kemudian Beliau bersabda
kepada I Gusti Ketut Kebon: ‘Pulanglah sekarang, sudah tidak ada apa-apa
lagi’.
Setelah bersabda
demikian, lantas menghilanglah Ida Bhatari Gunung Pangsung, dan I Gusti Ketut
Kebon segera melangkah pulang ke rumah di Tanjung – Lombok Utara menemui dan
berkumpul kembali bersama kedua istri dan kelima anaknya.
Begitulah moral dan tanggung jawab yang harus diemban I Gusti
Ketut Kebon melaksanakan tugas mencari
pembuktian di lapangan yang beresiko tinggi, meskipun dengan taruhan jabatan, taruhan keluarga, bahkan taruhan
hidup, melalui berbagai macam fitnah sekalipun, sehingga pada akhirnya
kebenaran selalu menyertai Beliau (kedatangan Ida Bhatari Gunung Pangsung) dan
pulang kembali dengan selamat.
Dituturkan selanjutnya, dalam
perjalanannya dari Belongas – Lombok Selatan menuju Tanjung – Lombok Utara, I
Gusti Ketut Kebon harus melewati Wilayah Cakranegara terlebih dahulu. Namun
sebelum tiba di pusat Cakranegara, masih di sekitar Cakranegara selatan, I Gusti
Ketut Kebon banyak menjumpai orang-orang yang membawa sikepan / senjata.
Melihat situasi yang sedemikian rupa, I Gusti Ketut Kebon memutuskan untuk
mampir saja ke keluarganya di Karang Sidemen, untuk menanyakan apa yang
sebenarnya telah terjadi. Setelah mendapat penjelasan bahwa akan terjadi
peperangan antara Kerajaan Cakranegara dan Kerajaan Mataram, kemudian besoknya
I Gusti Ketut Kebon melanjutkan perjalanannya pulang menuju Tanjung – Lombok Utara.
10 tahun kemudian setelah I Gusti
Ketut Kebon berkumpul kembali bersama kedua istri dan kelima anaknya tanpa
kekurangan apapun, meletuslah peperangan antara Kerajaan Cakranegara dengan
Kerajaan Mataram.
Kerajaan Cakranegara
mengalami kekalahan, dan sejak saat itu Kepunggawaan I Gusti Ketut Intaran
berakhir sudah, sehingga menyebabkan Wilayah Tanjung berganti Kepemerintahan di
bawah Kerajaan Mataram, dimana Punggawa Kerajaan Mataram bernama I Gusti Gede
Rai. Sehingga dengan patuh melaporlah I Gusti Ketut Kebon sebagai orang
kepercayaan kerajaan di masa Raja Anak Agung Cakranegara.
10 tahun dari kejatuhan Kerajaan
Cakranegara oleh Kerajaan Mataram, banyak terjadi perlawanan-perlawanan oleh rakyat
Sasak, terutama di Wilayah Praya yang ingin memberontak melawan pusat Pemerintahan
Kerajaan Mataram. Maka tentunya I Gusti Ketut Kebon juga turut serta membantu
Kerajaan Mataram untuk berperang melawan pemberontakan tersebut.
Saat berjuang melawan pemberontak,
Punggawa I Gusti Gede Rai akhirnya gugur di medan perang. Layon / mayat dari Punggawa
I Gusti Gede Rai menjadi tidak terurus. Dalam keadaan bertempur, dimana Prajurit
Kerajaan Mataram mundur tidak berani mengambil layon / mayat Punggawa I Gusti
Gede Rai,
Melihat situasi ini, kembali dengan gagah
berani I Gusti Ketut Kebon mengambil alih komando (seperti pada situasi
mengusir bajak laut) dan memimpin Prajurit Kerajaan Mataram untuk maju terus
berperang. Dimana sebenarnya kondisi
fisik I Gusti Ketut Kebon saat perang pemberontakan tersebut sudah mulai mengalami
sakit-sakitan, yang artinya Beliau sudah akan mempertaruhkan nyawanya hingga
tetes darah penghabisan. Namun demi
melaksanakan kewajiban Dharmaning
Ksatria, pun juga karena kesaktian yang
dimilikinya di medan tempur, maka I Gusti Ketut Kebon ditunjuk langsung sebagai
Patih Pangarep.
Melihat keberanian dan
kesetiaan dari I Gusti Ketut Kebon, malah menjadikan rakyat Sasak menjadi gentar
dan mundur, sehingga akhirnya layon / mayat dari Punggawa I Gusti Gede Rai
dapat diambil dan disemayamkan dengan terhormat di Kerajaan Mataram lantas
diserahkan kepada Raja Anak Agung Mataram.
Disinilah tempat pembuktian keberanian
dan kesetiaan dari I Gusti Ketut Kebon membela Kerajaan Mataram ditunjukkan,
sehingga Beliau semakin disegani dan oleh Raja Anak Agung Mataram, dan kemudian
I Gusti Ketut Kebon diberi gelar ‘Pendekar
Baler Gunung’.
Setelah selesai meredam pemberontakan, situasipun kembali aman, tenang,
tidak ada kerusuhan / makar, akhirnya I Gusti Ketut Kebon kembali lagi pulang
ke Tanjung.
Sebulan setelah I
Gusti Ketut Kebon tiba kembali di Tanjung, Beliau mendapat surat dari Raja Anak
Agung Mataram, bahwa;
‘Raja Anak Agung
Mataram memberikan seluruh Wilayah Baler Gunung / Tanjung bekas kekuasaan
Kerajaan Cakranegara yang sebelumnya dipegang oleh Punggawa I Gusti Ketut
Intaran untuk diserahkan sepenuhnya kepada I Gusti Ketut Kebon’.
Dan mulai saat itu I Gusti
Ketut Kebon menjabat sebagai Prebekel di Tanjung.
Setelah I Gusti Ketut Kebon menjabat
sebagai Prebekel di Tanjung, maka selanjutnya Prebekel I Gusti Ketut Kebon berencana
mencari sebuah lokasi yang bagus, yaitu di tengah pusat Wilayah Tanjung, yang
nantinya bertujuan untuk mendirikan sebuah tempat tinggal bagi seluruh Keturunan
Arya Kepakisan Dauh Bale Agung / sebuah Puri, yang nantinya bernama Puri Karang Jero.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar