Selasa, 13 Desember 2016

Perang di Pura Bebengan – Tanjung








Blog ke-8 dari Blog Ayu Sulastrini for International Architecture ini saya tulis bertepatan dengan Purnamaning Kanem, yang juga adalah hari piodalan dari Pura Bebengan, Tanjung - Lombok Utara. Mengapa Pura Bebengan, Tanjung?????? Karena dari Pura Bebengan inilah awal kisah perjuangan Leluhur Agung I Gusti Ayu Nyoman Sulastrini yaitu yang bernama I Gusti Ketut Kebon sebagai leluhur pertama yang merantau ke Pulau Lombok sekaligus yang berhasil menjadi penguasa suatu daerah di Lombok Utara yang kini telah menjadi sebuah Kabupaten yang bernama Tanjung (asal-usul Puri Karang Jero).
Leluhur Agung I Gusti Ketut Kebon sebagai keturunan dari I Gusti Abian Nengah atau I Gusti Dauh Purnamaning Kapat (keturunan Arya Dauh), tinggal di Jero Kelodan, Subagan Dalem  - Karangasem. Dituturkan pada saat itu sekitar tahun 1755, tersebutlah I Gusti Ketut Kebon adalah sosok dengan kepribadian Dharma yang  sangat patuh terhadap perintah, sebagaimana juga terhadap perintah kedua kakak-kakaknya yang gemar menyuruhnya membeli candu, baik di pagi, siang, sore, ataupun malam hari bahkan I Gusti Ketut Kebon hampir hanyut saat membeli candu ketika datang banjir melanda di Sungai Jange, sehingga malah semakin dimurkai kedua kakaknya tersebut karena datang terlambat membawakan candu yang mereka pesan ke Karangasem.
Di suatu saat karena I Gusti Ketut Kebon tak kunjung habis-habisnya dimurkai kedua kakak-kakaknya karena mendapatkan candu dalam jumlah sedikit, pada akhirnya I Gusti Ketut Kebon merelakan dirinya mapamit kepada kedua kakaknya tersebut melanglang ke luar menuju ke beberapa desa-desa di pelosok Bali hingga melarung laut sampai ke Gumi Sasak / Pulau Lombok, untuk merantau demi menyambung hidup seorang diri tanpa pangiring, menuju keluarga di Karang Sidemen - Cakranegara, yaitu di keluarga I Gusti Gede Umbara (keturunan Arya Dauh). Pengorbanan diri I Gusti Ketut Kebon yang saat itu berusia 30 tahun pergi merantau menuju ke Gumi Sasak adalah dengan meninggalkan 2 orang istrinya yang bernama I Gusti Ayu Nengah Putu dan Jero Banjar, sekaligus meninggalkan juga kelima orang putra dan putrinya, yaitu yang bernama : I Gusti Ayu Made Kaler, I Gusti Nyoman Taji, I Gusti Wayan Pande, I Gusti Made Rai, dan I Gusti Gede Jelantik.
Tiba di Gumi Sasak / Pulau Lombok setelah mengarungi Selat Lombok dengan berperahu sendirian selama +7 hari, berlabuh di Pantai Bangko-bangko - Lombok Barat kemudian I Gusti Ketut Kebon meneruskan perjalanan dengan berjalan kaki sejauh +69 km menuju ke Karang Sidemen – Cakranegara, sebuah Ibu Kota Pemerintahan yang baru saja dikuasai Kerajaan Karangasem. Singkat cerita, hanya selama 8 hari singgah di keluarga I Gusti Gede Umbara, kemudian I Gusti Ketut Kebon mapamit untuk mewujudkan niatnya memiliki tempat tinggal di sebuah kubon / lahan kosong yang terletak di Baler Gunung / Utara Gunung, tepatnya di Dusun Tanak Song (tanah kosong), Desa Jenggala, yang sekarang terkenal dengan nama Kabupaten Tanjung.
Merantau jauh hingga tinggal magubug / rumah reyot yang tak layak huni di sebuah lahan kosong terpencil di Gumi Sasak, dimana semua wilayah Kabupaten Tanjung saat itu masih berupa hutan belantara, begitulah pengorbanan I Gusti Ketut Kebon meninggalkan rumah asal, anak, dan istri demi menghindari tuntutan dan perintah kedua kakaknya tersebut membeli candu. Bahkan diceritakan kondisi penduduk asli di sekitar Dusun Tanak Song saat itu juga banyak yang masih menderita.
Cukup lama I Gusti Ketut Kebon magubug di Dusun Tanak Song, beliau menyambung hidup dengan bermatapencaharian sebagai pedagang ikan dan kapur yang kemudian ditukarkan / sistem barter dengan beras dan bumbu-bumbuan hingga berdagang ke Dasan Luwang Sawak, Dasan Tungkik, hingga Dasan Carik.
Dituturkan bertahun-tahun I Gusti Ketut Kebon telah menetap di Dusun Tanak Song, dengan hasil dari tekad mulia, rasa tanggung jawab, kerja kerasnya, dan juga menabung, akhirnya I Gusti Ketut Kebon berhasil membeli sebidang tanah di daerah Karang Desa, dan mendirikan Cecanggahan / Unggah - Anggih / tempat maturan / sembahyang. Kemudian setelah selesai membeli sebidang tanah dan mendirikan Cecanggahan, I Gusti Ketut Kebon pulang ke Subagan Dalem – Karangasem untuk menjemput kedua istri dan kelima anaknya yang masih kecil-kecil.
Tujuan I Gusti Ketut Kebon kembali ke Subagan Dalem – Karangasem adalah  dengan bermaksud ikut membawa anak dan istrinya dan juga mengambil segenggam Tanah Jumputan dari Merajan Subagan Dalem – Karangasem, demi persyaratan mendirikan Merajan (meneruskan keturunan Arya Kepakisan Dauh Bale Agung) di Gumi Sasak / Pulau Lombok.
Dituturkan, selama I Gusti Ketut Kebon merantau sendirian berjuang di tanah seberang, kedua istri beliau, yaitu : I Gusti Ayu Nengah Putu dan Jero Banjar, hidup secara sederhana bersama kelima anak-anaknya di Subagan Dalem – Karangasem.
            Sesampainya I Gusti Ketut Kebon dengan selamat melarung laut menggunakan sebuah perahu selama +7 hari membawa kedua istri dan kelima anaknya menuju ke Gumi Sasak / Pulau Lombok, I Gusti Ketut Kebon tetap melanjutkan mata pencahariannya dengan berdagang ikan dan kapur, ditambah juga berjualan bumbu-bumbuan sambil melebarkan daerah jangkauan dagangannya hingga ke Dusun Panasan Daye, dengan ditemani kedua istri dan putri sulungnya yang masih berusia 7 tahun. Semua kerja keras keluarga kecil I Gusti Ketut Kebon ini, disamping agar mampu mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari, juga dikarenakan tidak memiliki tanah dan kebun (warisan) di Gumi Sasak / Pulau Lombok ini.
            Kemudian dituturkan bahwa Wilayah Baler Gunung / Utara Gunung / Tanjung yang masih berada di Wilayah Kepemerintahan Kerajaan Cakranegara, saat itu memiliki seorang Punggawa Kerajaan Wilayah Tanjung yang bernama I Gusti Ketut Intaran, situasinya mulai tidak aman.
Saat masyarakat desa sedang menunggu panen padi di sawahnya, tiba-tiba kedatangan bajak laut di Pantai Bebengan dengan tanda menyembunyikan kempul kecil / bende, sebagai tanda peringatan bahwa bajak laut akan melakukan perampokan pada sawah rakyat. Jelas masyarakat desa merasa ketakutan dan melapor kepada Punggawa I Gusti Ketut Intaran. Selanjutnya masyarakat desapun beramai-ramai membawa senjata ala kadarnya untuk ikut membantu pasukan kerajaan melawan bajak laut. Sehingga terjadilah pertempuran dengan bajak laut di wilayah Gontor Bebengan.
Saat itu I Gusti Ketut Kebon baru saja memiliki sebidang tanah sawah yang akan digunakan untuk bertani, sebidang tanah sawah yang terletak di sebelah Barat Bebengan, yaitu di Jambi Nambar. Sewaktu I Gusti Ketut Kebon juga sedang mengolah tanah sawahnya itu, beliau akhirnya menyaksikan sengitnya pertempuran melawan bajak laut tersebut. Kemudian I Gusti Ketut Kebon melihat bahwa pasukan kerajaan yang dibantu masyarakat desa menjadi sangat terdesak oleh serangan bajak laut, sehingga Punggawa I Gusti Ketut Intaran lari dan tercebur di Rawa Bebengan. Sedangkan masyarakat desa ikut melarikan diri terpencar.
Punggawa I Gusti Ketut Intaran yang tercebur di Rawa Bebengan tidak bisa bangun dan berteriak-teriak minta tolong untuk ditarik keluar dari rawa lumpur. Sehingga akhirnya I Gusti Ketut Kebon datang dan membantunya menarik keluar dari dalam lumpur. Melihat situasi yang demikian kacau balau, akhirnya pimpinan pasukan kerajaan dan masyarakat desa sementara diambil alih oleh I Gusti Ketut Kebon untuk kembali melawan serangan bajak laut, sehingga berbaliklah situasi yang membuat pasukan bajak lautlah yang terdesak sampai naik kembali ke atas perahunya, sekaligus I Gusti Ketut Kebon pun berhasil pula menyandera salah satu anggota bajak laut yang bernama Wak Pacak, ternyata disinyalir berasal dari Kampung Bandar, Bugis - Makasar.
Masyarakat desa kala itu sangat keheranan melihat ‘Tingkat Ksatria’ yang teguh kembulan dari I Gusti Ketut Kebon, karena jika I Gusti Ketut Kebon mangkat / seda / wafat dalam peperangan habis-habisan melawan pasukan bajak laut, maka habislah riwayat keturunan Arya Kepakisan Dauh Bale Agung di Gumi Sasak / Pulau Lombok.
 Karena I Gusti Ketut Kebon telah berhasil membantunya dalam mengusir bajak laut sekaligus membawakan bukti sandera, Punggawa I Gusti Ketut Intaran sembari mengucapkan terima kasih beliau juga berpesan; jika saat dirinya pulang ke Kerajaan Cakranegara, I Gusti Ketut Kebon dipercayakan sebagai pengganti sementara menjaga keamanan Wilayah Tanjung. Sejak saat itulah I Gusti Ketut Kebon dan Punggawa I Gusti Ketut Intaran menjalin hubungan persahabatan.
Selanjutnya dituturkan setelah beberapa lama di Cakranegara, Punggawa I Gusti Ketut Intaran kembali ke Tanjung dengan membawa titah dari Raja Cakranegara; bahwa seluruh Wilayah Masyarakat Buddha dipegang oleh I Gusti Ketut Kebon dimana telah dianugerahkan Sang Raja sebuah jabatan sebagai Anglurah, juga sekaligus memberi penghargaan berupa beberapa bidang sawah di daerah Jambi Nambar, Bebengan. I Gusti Ketut Kebon mengucapkan terima kasih kepada Raja Anak Agung Cakranegara atas pelimpahan kepercayaan yang diberikan kepadanya.
Setelah sekian lama I Gusti Ketut Kebon melaksanakan titah Raja Anak Agung Cakranegara dengan jabatannya sebagai Anglurah, hingga kemudian situasi Wilayah Tanjung kembali rawan. Sering terjadi pencurian sapi milik masyarakat Dasan Kates - Karang Panasan yang dilakukan oleh sebagian masyarakat Lading-lading. Sapi-sapi curian tersebut langsung disembelih ditempat, kemudian kepala sapi-sapi tersebut diikat pucuk merah dan digantung di pintu masuk Desa Lading-lading sebelah barat. Hal itu memicu amarah masyarakat Dasan Kates - Karang Panasan yang kemudian melaporkannya kepada Anglurah I Gusti Ketut Kebon.
Lalu Anglurah I Gusti Ketut Kebon berkata: ‘Kalau ada masyarakat Dasan Kates – Karang Panasan punya nyali, silahkan mencari dan mengambil sapinya yang dicuri ke Desa Lading-lading’.
            Tetapi masyarakat Dasan Kates – Karang Panasan tidak berani dan kemudian mendiamkannya. Hingga kejadian pencurian sapi-sapi terjadi terus berulang-ulang, hingga 2 sampai 3 kali setiap bulannya terjadi perampokan. Bahkan setiap melihat orang Lading-lading, masyarakat Dasan Kates – Karang Panasan merasa takut sekali, hal inilah yang menyebabkan akhirnya Anglurah I Gusti Ketut Kebon merasa harus segera mengambil tindakan. Maka pergilah Anglurah I Gusti Ketut Kebon ke Montong Mencongok menjumpai sebagian masyarakat setempat yang sedaqng membajak sawahnya dengan menggunakan sapi-sapi hasil curian tersebut. Lantas Anglurah I Gusti Ketut Kebon memotong tali pengikat leher sapi-sapi curian tersebut dan menyerahkannya kepada masyarakat Dasan Kates – Karang Panasan, agar nantinya masyarakat Dasan Kates – Karang Panasan bisa membawa pulang kembali sapi-sapi miliknya yang dicuri. Sedangkan demi melihat keberanian dari Anglurah I Gusti Ketut Kebon, masyarakat Lading-lading yang mencuri sapi-sapi masyarakat Dasan Kates – Karang Panasan, menjadi takut kepada sosok  Anglurah I Gusti Ketut Kebon.
            Tak berselang lama, sekitar 3 bulan – 5 bulan kemudian, masyarakat Lading-lading melaporkan balik / membuat sebuah fitnah kepada Raja Anak Agung Cakranegara, yang intinya bahwa; ‘Anglurah I Gusti Ketut Kebon telah merampas sapi-sapi milik masyarakat Lading-lading’, yang tentunya menyebabkan Raja Anak Agung Cakranegara menjadi murka, sehingga menitahkan Anglurah I Gusti Ketut Kebon dibuang ke Belongas – Lombok Selatan.
            Singkat cerita, setelah menitipkan pengawasan kelima anaknya kepada kedua istrinya, dimana dimasa pembuangannya di Belongas – Lombok Selatan, hidup I Gusti Ketut Kebon sangat menderita. Untuk dapat bertahan hidup saja hanya bergantung sebagai Penunggu Taman.
Namun kemudian setelah sekitar sebulan hidup di pembuangannya di Belongas – Lombok Selatan, tiba-tiba turunlah hujan angin saat tengah malam, dan I Gusti Ketut Kebon melihat sosok seorang perempuan yang tidak lain adalah Ida Bhatari Gunung Pangsung.
Yang kemudian Beliau bersabda kepada I Gusti Ketut Kebon: ‘Pulanglah sekarang, sudah tidak ada apa-apa lagi’.
Setelah bersabda demikian, lantas menghilanglah Ida Bhatari Gunung Pangsung, dan I Gusti Ketut Kebon segera melangkah pulang ke rumah di Tanjung – Lombok Utara menemui dan berkumpul kembali bersama kedua istri dan kelima anaknya.
Begitulah moral dan tanggung jawab yang harus diemban I Gusti Ketut Kebon melaksanakan tugas mencari pembuktian di lapangan yang beresiko tinggi, meskipun dengan taruhan jabatan, taruhan keluarga, bahkan taruhan hidup, melalui berbagai macam fitnah sekalipun, sehingga pada akhirnya kebenaran selalu menyertai Beliau (kedatangan Ida Bhatari Gunung Pangsung) dan pulang kembali dengan selamat.
          Dituturkan selanjutnya, dalam perjalanannya dari Belongas – Lombok Selatan menuju Tanjung – Lombok Utara, I Gusti Ketut Kebon harus melewati Wilayah Cakranegara terlebih dahulu. Namun sebelum tiba di pusat Cakranegara, masih di sekitar Cakranegara selatan, I Gusti Ketut Kebon banyak menjumpai orang-orang yang membawa sikepan / senjata. Melihat situasi yang sedemikian rupa, I Gusti Ketut Kebon memutuskan untuk mampir saja ke keluarganya di Karang Sidemen, untuk menanyakan apa yang sebenarnya telah terjadi. Setelah mendapat penjelasan bahwa akan terjadi peperangan antara Kerajaan Cakranegara dan Kerajaan Mataram, kemudian besoknya I Gusti Ketut Kebon melanjutkan perjalanannya pulang menuju Tanjung – Lombok Utara.
            10 tahun kemudian setelah I Gusti Ketut Kebon berkumpul kembali bersama kedua istri dan kelima anaknya tanpa kekurangan apapun, meletuslah peperangan antara Kerajaan Cakranegara dengan Kerajaan Mataram.
Kerajaan Cakranegara mengalami kekalahan, dan sejak saat itu Kepunggawaan I Gusti Ketut Intaran berakhir sudah, sehingga menyebabkan Wilayah Tanjung berganti Kepemerintahan di bawah Kerajaan Mataram, dimana Punggawa Kerajaan Mataram bernama I Gusti Gede Rai. Sehingga dengan patuh melaporlah I Gusti Ketut Kebon sebagai orang kepercayaan kerajaan di masa Raja Anak Agung Cakranegara.
          10 tahun dari kejatuhan Kerajaan Cakranegara oleh Kerajaan Mataram, banyak terjadi perlawanan-perlawanan oleh rakyat Sasak, terutama di Wilayah Praya yang ingin memberontak melawan pusat Pemerintahan Kerajaan Mataram. Maka tentunya I Gusti Ketut Kebon juga turut serta membantu Kerajaan Mataram untuk berperang melawan pemberontakan tersebut.
            Saat berjuang melawan pemberontak, Punggawa I Gusti Gede Rai akhirnya gugur di medan perang. Layon / mayat dari Punggawa I Gusti Gede Rai menjadi tidak terurus. Dalam keadaan bertempur, dimana Prajurit Kerajaan Mataram mundur tidak berani mengambil layon / mayat Punggawa I Gusti Gede Rai,
            Melihat situasi ini, kembali dengan gagah berani I Gusti Ketut Kebon mengambil alih komando (seperti pada situasi mengusir bajak laut) dan memimpin Prajurit Kerajaan Mataram untuk maju terus berperang.  Dimana sebenarnya kondisi fisik I Gusti Ketut Kebon saat perang pemberontakan tersebut sudah mulai mengalami sakit-sakitan, yang artinya Beliau sudah akan mempertaruhkan nyawanya hingga tetes darah penghabisan.  Namun demi melaksanakan kewajiban Dharmaning Ksatria, pun juga karena kesaktian yang dimilikinya di medan tempur, maka I Gusti Ketut Kebon ditunjuk langsung sebagai Patih Pangarep.
Melihat keberanian dan kesetiaan dari I Gusti Ketut Kebon, malah menjadikan rakyat Sasak menjadi gentar dan mundur, sehingga akhirnya layon / mayat dari Punggawa I Gusti Gede Rai dapat diambil dan disemayamkan dengan terhormat di Kerajaan Mataram lantas diserahkan kepada Raja Anak Agung Mataram.
Disinilah tempat pembuktian keberanian dan kesetiaan dari I Gusti Ketut Kebon membela Kerajaan Mataram ditunjukkan, sehingga Beliau semakin disegani dan oleh Raja Anak Agung Mataram, dan kemudian I Gusti Ketut Kebon diberi gelar ‘Pendekar Baler Gunung’.
Setelah selesai meredam pemberontakan, situasipun kembali aman, tenang, tidak ada kerusuhan / makar, akhirnya I Gusti Ketut Kebon kembali lagi pulang ke Tanjung.
Sebulan setelah I Gusti Ketut Kebon tiba kembali di Tanjung, Beliau mendapat surat dari Raja Anak Agung Mataram, bahwa;
‘Raja Anak Agung Mataram memberikan seluruh Wilayah Baler Gunung / Tanjung bekas kekuasaan Kerajaan Cakranegara yang sebelumnya dipegang oleh Punggawa I Gusti Ketut Intaran untuk diserahkan sepenuhnya kepada I Gusti Ketut Kebon’.
Dan mulai saat itu I Gusti Ketut Kebon menjabat sebagai Prebekel di Tanjung.
          Setelah I Gusti Ketut Kebon menjabat sebagai Prebekel di Tanjung, maka selanjutnya Prebekel I Gusti Ketut Kebon berencana mencari sebuah lokasi yang bagus, yaitu di tengah pusat Wilayah Tanjung, yang nantinya bertujuan untuk mendirikan sebuah tempat tinggal bagi seluruh Keturunan Arya Kepakisan Dauh Bale Agung / sebuah Puri, yang nantinya bernama Puri Karang Jero.









Tidak ada komentar:

Posting Komentar